Mendidik dengan “JEMPOL”


Kenapa harus jempol, tidak kelingking, bukan pula telunjuk? Bagaimana cara mendidik dengan jempol? Apakah bisa kita menggunakan jempol untuk mendidik? Tiga pertanyaan itu mungkin yang terlintas dibenak Anda. Sebuah kisah nyata, “jempol” mampu mengantar orang berkebangsaan  Prancis bernama Jeremy Marie keliling dunia. Oktober 2007, Jeremy Marie mulai perjalanan keliling dunia dengan Hitchhiking. ‘Jempolnya’ itu telah membawanya menjelajahi Eropa, Timur Tengah, Afrika, Samudra Atlantik, Amerika Tengah, Amerika Utara, Amerika Selatan hingga Samudra Pasific. Dengan jempolnya pula, Jeremy mendapatkan tumpangan gratis pesawat terbang dari Darwin menuju Bali.

Apakah kehebatan jempol berhenti sampai disitu saja. Kita semua tahu siapakah penemu bola lampu yang membuat malam tetap terang, bahkan membuatnya kian indah, ya... Thomas Alva Edison. Pria kelahiran Milan, Ohio pada tanggal 11 Februari 1847. Pada umur 7 tahun Edison beserta orangtuanya pindah ke Port Huron, Michigan. Ia lalu masuk sekolah. Tapi 3 bulan kemudian ia terpaksa dikeluarkan, karena ayahnya sendiri dan para guru berpendapat, bahwa Edison sangat bodoh dan tidak dapat diajar. "Anak itu sangat bodoh!" kata gurunya. Nancy Elliot Edison Ibu dari Thomas Alva Edison memutuskan untuk mengajar sendiri anaknya di rumah. Kebetulan ibunya berprofesi sebagai guru.
Meskipun tidak sekolah, Edison kecil menunjukkan sifat ingin tahu yang mendalam dan selalu ingin mencoba. Cara mengajar ibunya sangat berbeda, Nancy mendorong Edison belajar. Cara Nency mendidik Edison adalah dengan selalu yakin kalau anaknya juga seperti anak lain. Dia bisa tumbuh menjadi anak yang pandai dan hebat. Setiap Edison kecil menemukan kesulitan dalam belajar Nancy selalu dengan sabar membimbingnya. Sering kali Edison mendapatkan pujian atas keberhasilan kecilnya, seperti ketika berhasil menuliskan namanya dengan benar. “Nak kamu anak yang hebat, kamu bisa”, kata-kata itu yang dengan ketulusan dan rasa sayang diucapkan Nancy. Pujian dan penghargaan selalu menghiasi hangatnya suasana belajar mengajar mereka dari waktu kewaktu.
Singkat cerita Edison tumbuh menjadi penemu terbesar di dunia, anak miskin dan putus sekolah menjelma menjadi orang pertama di dunia yang menciptakan stasiun tenaga listrik, laboratorium riset untuk industri, dan sistem distribusi listrik. Di Amerika Serikat ia memiliki 1.093 paten, di seluruh dunia memiliki 3.000 paten.
Sudah sekitar 3 menit Anda menyempatkan waktu membaca artikel Mendidik dengan “Jempol”, maka pantaslah kalau Anda saya beri “jempol”, he…. Sudahkan Anda menemukan jawaban atas pertanyaan di awal tulisan ini? Jempol pada umumnya dalam keseharian kita gunakan untuk memberikan apresiasi pada orang lain. Kadang tanpa sadar ketika teman kita mencetak gol seketika itu kita berdiri dan mengacungkan dua jempol dan berteriak, “Goooolllll… Kalian hebaaaaatttttt…!!!”. Atau ketika kita memuji bos, “mantap bos, keren sekali”.
Pada jejaring sosial ‘face book’, logo jempol digunakan sebagai penanda kalau kita menyukai sebuah setatus, gambar, foto, ataupun komentar. Kita sebagai pemilih face book yang mendapatkan jumlah jempol banyak tentu merasa sangat senang dan dihargai. Esok hari mungkin saja semakin gemar meng-update status, meng-upload gambar/ foto, mengomentari.
Apabila ada siswa yang berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka perlu diberikan pujian. Sambil tersenyum dan mengacungkan jempol terucap “nak kamu hebat, jawabanmu benar!”. Jempol (dibaca Pujian) adalah bentuk reinforcement yang positif dan memberikan motivasi yang baik bagi siswa. Pemberiannya juga harus pada waktu yang tepat, sehingga akan memupuk suasana yang menyenangkan dan mempertinggi motivasi  belajar serta sekaligus akan membangkitkan harga diri. Sudahkah hari ini kita memberi jempol terhadap pencapaian siswa kita?

MENDIDIK ≠ MENGHUKUM
Filosofi mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Sementara di Indonesia, menyelesaikan studi harus jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para guru yang siap menerkam. Pemberian jempol oleh guru jarang dijumpai. Keinginan guru agar siswanya mendapatkan nilai tinggi kadang menjadikannya demikian. Siswa dalam satu kelas dinilai berkemampuan sama, bahkan kita samakan dengan kita. Ingat “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan.”
Jika Anda pernah pergi ke sebuah terminal umum disana terparkir berbagai kendaraan, taksi, bus, angkot, bajai, becak, sepeda motor. Jika kita ingin cepat sampai tujuan dan nyaman kita akan pilih taksi. Jika kita ingin bersantai dan ramah lingkungan, becak jadi solusinya. Selayaknya terminal adalah kelas, maka akan berisi siswa yang beraneka potensi. Namun budaya menghukum terlihat jelas ketika digelar ritual tahuan bernama Ujian Nasional. Seisi “terminal” diboyong kesirkuit naskar. Adu cepat antara taksi, bus, angkot, bajai, becak, sepeda motor. Ini pertarungan yang tidak imbang.

JEMPOL PENCETAK KEHEBATAN
Apakah Anda pernah dipuji? Bagaimana perasan Anda saat dipuji? Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.
Daun telinga yang tumbuh dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Kita bisa saja menjadi disiplin karenanya. Tapi perlu mewaspadai dampak pengiringnya, selain kenyamanan, ternyata dapat pula mematikan semangat, inisiatif dan kreatifitas siswa. Otak manusia ternyata tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang kitas sepakati ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendidik dengan “jempol”. Mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mendidik dengan “JEMPOL”"

Posting Komentar