Bukan Guru “BIASA”

Tulisan ini terlahir sesaat setelah teringat masa pembekalan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL). Ada sosok Guru yang memberi inspirasi, meskipun maaf saya lupa namanya, yang terpenting apa yang beliau sampaikan tertanam dengan baik dibenak saya. Kurang lebih bagian itu adalah sebagai berikut:
·         Guru Biasa jika kita hanya memberi tahu
·         Guru yang Baik jika kita t’lah menjelaskan
·         Guru yang Lebih Baik jika kita dapat mendemonstrasikan
·         Guru yang Terbaik jika kita mampu memberi inspirasi

Dari situ saya beranikan diri untuk menjadikan beliau sebagai bukan guru biasa. Tanpa saya sadari semua itu mulai memberi spirit baru untuk lebih mempersiapkan diri menjadi guru. Saat itu saya masih tercatat sebagai mahasiswa keguruan semester 6. Alhamdulillah semasa PPL saya dipertemukan kembali dengan guru sederhana berjuta inspirasi. Untuk guru yang satu ini Alhamdulillah masih ingat namanya. ‘Pak Joko’ itu panggilan yang sering kali saya dengar ketika siswa-siswa memanggil beliau.
 Berawal dari beliaulah saya mencintai profesi sebagai guru. Dari beliau pula saya belajar bagaimana melihat siapa sebenarnya guru itu, lalu siapakah siswa itu sesungguhnya di mata guru.

Sekedar berbagi pengalaman, lima tahun lampau, saya memutuskan untuk kuliah di Institut Keguruan (IKIP PGRI Semarang). Menjadi guru bukanlah pilihan profesi yang populer. Terlebih pilihan itu muncul saat saya sudah bekerja di salah satu Perusahaan Jepang di Kawasan Industri, Bekasi. Lucunya gaji saya kala itu 10 kali lipat dari gaji pertama saya menjadi guru. Di negeri ini guru bukanlah pilihan yang menjanjikan kemapanan ekonomi, mudah-mudahan kebijakan pemerintah semakin memihak para guru. Di zaman ini, menjadi guru tidaklah memberi memberikan kemampanan status sosial di tengah masyarakat, mengingat perbuatan tak pantas yang dilakukan beberapa opnum guru. Ketika saya memilih menjadi guru, saya menyimpan cita-cita dalam benak untuk “tidak menjadi guru yang biasa-biasa saja”.
Semua keberanian itu saya dapatkan setelah bertemu guru-guru super penuh inspirasi. Upaya mewujudkan impian berarti juga upaya mengatasi sejumlah hambatan yang melumpuhkan semangat. Rasa malas dan cepat berpuas diri adalah rintangan yang tidak mudah diatasi.
Hal awal yang saya lakukan untuk mendekatkan diri dengan impian adalah berusaha mendisiplinkan diri. Lebih tepatnya adalah memaksa diri. Wujud pakasaan itu adalah dengan melakukan aktifitas-aktifitas positif yang lebih memberikan manfaat. Paksaan pertama saya mulai mengakrabkan diri dengan buku. Menjadikan membaca sebagai kebiasaan (habist) adalah hal teramat berat. Hingga akhirnya saya bertemu buku yang saya kutip tulisannya sebagai berikut. “Jika kita menjadikan hal baik (membaca) sebagai kebiasaan, maka hal itu merupakan hasil irisan tiga komponen. Ketiganya adalah keinginan yang berarti mau melakukan, pengetahuan yang mencakup mengapa dilakukan, dan keterampilan mengenai bagaimana melakukannya.”
Upaya pemaksaan itu lambat laun menjadikan saya mulai bisa menjadikan membaca sebagai hal yang menyenangkan. Hingga kini saya menjadi biasa (menjadi kebiasaan) membaca buku.
Pemaksaan tidak lantas berakhir. Awal bulan saya paksakan diri untuk membeli satu buku baru. Ini baru berjalan 5 bulan, Alhamdulillah paksaan kedua lebih berhasil. Hingga hari ini (5/19) sudah terkumpul 7 buku baru dan sudah 5 buku habis terbaca. Rencana pemaksaan berikutnya adalah untuk memulai menulis. Tulisan inilah yang saat ini sedang Anda baca adalah bentuk paksaan saya yang pertama. Semoga Anda tidak ikut terpaksa untuk membacanya hingga akhir, Amin dan terimasih, he….
Apakah dengan menempuh hal-hal di atas lalu layak tergolong “bukan guru biasa”? Tentu jauh dari kaya “iya”. Yang jelas pilihan cara boleh beragam, tetapi semangat dasar untuk bertekun, memaksa diri beralih melakukan aktifitas dan pembiasaan positif tetaplah sama.
Ketika tugas-tugas utama telah dibereskan, relasi dengan siswa terbangun secara manusiawi, administrasi pembelajaran tersiapkan, dan kehadiran dalam korps sebagai hal yang penting, barulah menjadikan kita dalam level yang “biasa”.
Akhirnya dengan semangat yang sama mari sahabat guru dan adik-adik mahasiswa calon guru “kerjakan tugas melebihi batas kepatutan” kiranya layak menjadi inspirasi bagi kita untuk mengembangkan diri melebihi yang dilakukan oleh guru “biasa”. Kunci perubahan ada pada diri kita sendiri. Insya Allah kita bisa…!!!!!

Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Bukan Guru “BIASA”"

  1. Okehh sipp
    Inspiraif sekali :)

    saya, tnggu tulisannya pak ^.^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimaksih... mari saling menginspirasi....
      Akan saya share lagi postingan terbaru.

      Hapus